Musik Warisan Sufi
Hadhroh
atau yang lebih populer dengan musik terbangan ( rebana bahasa jawa )
tak lepas dari sejarah perkembangan dakwah Islam Wali Songo Tak ada yang tahu kapan Hadhroh datang di bumi Nusantara ini. Namun Hadhroh atau yang lebih populer dengan musik terbangan (rebana bahasa jawa)
tersebut tak lepas dari sejarah perkembangan dakwah Islam Wali Songo.
Dari beberapa sumber menyebutkan bahwa adat kebiasaan pada setiap tahun,
sesudah konprensi besar para wali, di serambi Masjid Demak diadakan
perayaan Maulid Nabi yang diramaikan dengan rebana menurut irama seni
arab. Penggunaan rebana tersebut diadopsi oleh Wali Songo dengan
kebiasaan di daerah asal Wali Songo tersebut (Hadrolmaut) yang dijadikan media berdakwah.
Menurut
keterangan dari ulama besar Palembang yaitu Al’Alimul ’Alamah
Al’Arifbillah Al Habib Umar Bin Thoha Bin Shahab, adalah Al Imam Ahmad
Al Muhajir (kakek dari Wali Songo kecuali sunan kalijogo), waktuhijrah ke Yaman (Hadrolmaut) maka beliau mendapati seorang Darwisy (pengikut thoriqot sufi ) yang sedang asyik memainkan Hadhroh (rebana)
serta mengucapkan syair pujian kepada Alloh dan Rosul-Nya, sehingga
bersahabatlah sang Imam dengan Darwisy tersebut ”. Sejak itu apabila
Imam Muhajir mengadakan majelis maka disertakan darwisy tersebut, hingga
sekarang keturunan dari Imam Muhajir tetap menggunakan Hadhroh disaat
mengadakan suatu majelis.
Saat
ini Hadhroh telah berkembang dengan pesatnya sebagai musik pengiring
Maulid Nabi SAW serta acara – acara keagamaan lainnya seperti haul, isro
mi’roj dan sebagainya. Dan kini banyak bermunculan grup-grup Hadhroh.
Makna
Hadhroh dari segi bahasa diambil dari kalimat bahasa Arab yakni hadhoro
atau yuhdhiru atau hadhron atau hadhrotan yang berarti kehadiran.
Tetapi
di dalam istilah kebanyakan, Hadhroh diartikan sebagai irama yang
dihasilkan oleh bunyi rebana. Dari segi istilah atau definisi, Hadhroh
menurut tasawuf adalah suatu metode yang bermanfaat untuk membuka jalan
masuk ke ‘hati’, karena orang yang melakukan hadhrah dengan benar
terangkat kesadarannya akan kehadiran Allah yang senantiasa hadir.
Pada asalnya Hadhroh ini merupakan kegiatan para sufi yang biasanya melibatkan seruan atas sifat – sifat Allah yang Maha Hidup (Al-Hayyu), dapat dilakukan sambil berdiri, berirama dan bergoyang dalam kelompok- kelompok.
Sebagian
kelompok berdiri melingkar, sebagian berdiri dalam barisan, dan
sebagian duduk berbaris atau melingkar, pria di satu kelompok, dan
wanita di kelompok lain yang terpisah. Kebanyakan tarekat sufi
mempraktikkan dzikrullah dengan berirama atau menyanyi, dengan
sekali-sekali menggunakan instrumen musik, terutama genderang.
Musik
telah memasuki praktik tarekat sufi secara sangat terbatas, dan sering
untuk jangka waktu sementara di bawah tuntunan seorang syekh sufi. Di
anak-benua India, kaum sufi mendapatkan bahwa orang Hindu sangat
menyukai musik, sehingga mereka pun menggunakan musik untuk membawa
mereka ke jalan kesadaran-diri, dzikrullah dan kebebasan yang
menggembirakan.
Maka
walaupun peralatan musik digunakan untuk maksud dan tujuan itu, namun
pada umumnya mereka dianggap sebagai penghalang yang tak perlu.
Kebanyakan bait- bait yang dinyanyikan adalah mengenai jalan rohani dan
tak ada hubungannya dengan nyanyian biasa. Sering merupakan gambaran
tentang bagaimana membebaskan diri dari belenggunya diri dan bagaimana
agar terbangun. Jadi, nyanyian dan tarian sufi merupakan bagian dari
praktik menumpahkan kecemasan duniawi dan menimbulkan kepekaan dalam
diri dengan cara sama (mendengar).
Dalam
konteks sufi, segala sesuatu yang berhubungan dengan musik atau
nyanyian dimaksudkan untuk peningkatan rohani dan penyucian-diri. Musik
tidak dilakukan demi hiburan sebagaimana musik biasa yang ritmis dan
menggairahkan secara fisik. Tarian itu adalah untuk Allah, bukan untuk
orang lain.
Musik
adalah alat, dan bila dipegang oleh orang yang tahu bagaimana
menggunakannya, akan bermanfaat untuk tujuan yang diniatkan. Sebaliknya
ia bisa lepas kendali dan menyebabkan kerusakan. Kesimpulannya hadhroh
itu merupakan kegiatan atau praktik membuka jalan masuknya hidayah Allah
ke dalam hati dengan jalan mandengarkan syair – syair religius atau
keagamaan dengan diiringi alunan irama – irama yang di hasilkan oleh
instrumen alat-alat musik terutama rebana.
Hadhroh dan Syariat Islam.
Hadroh
di dalam pandangan syariat agama masih menjadi perdebatan. Tak sedikit
yang mendiskriditkan atau memojokkan hadhroh sebagai suatu hal yang
diharamkan sehingga orang yang melakukannya dianggap melakukan
kemusyrikan. Namun sebagian besar mengatakan bahwa musik ini tidak
menyimpang dari syariat.
Hadits
dari A'isyah ra menyebutkan’ Suatu ketika Rasul Shallallahu 'Alaihi
Wasallam masuk ke bilik 'Aisyah, sedang di sisinya ada dua orang hamba
sahaya wanita yang masing-masing memukul rebana (dalam riwayat lain ia
berkata: ... dan di sisi saya terdapat dua orang hamba sahaya yang
sedang menyanyi), lalu Abu Bakar mencegah keduanya. Tetapi Rasulullah
malah bersabda, “Biarkanlah mereka karena sesungguhnya masing-masing
kaum memiliki hari raya, sedangkan hari raya kita adalah pada hari ini. (HR. Bukhari).
Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, “ Pembeda antara yang halal dengan yang haram adalah memukul rebana dan suara(lagu) pada saat pernikahan.” (Hadits shahih riwayat Ahmad).
Adapun
pernikahan, disyariatkan di dalamnya untuk membunyikan alat musik
rebana disertai nyanyian yang biasa dinyanyikan untuk mengumumkan suatu
pernikahan, yang di dalamnya tidak ada seruan maupun pujian untuk
sesuatu yang diharamkan. Khusus bagi kaum wanita untuk mengumumkan
pernikahan agar dapat dibedakan dengan perbuatan zina, sebagaimana yang
dibenarkan dalam hadits shahih Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam. Namun
genderang dilarang membunyikannya dalam sebuah pernikahan, cukup dengan
memukul rebana saja.
Ada satu jenis alat musik yang diterangkan kebolehannya secara jelas, yaitu rebana (Arab : duff atau ghirbal), sesuai sabda Nabi SAW : “Umumkanlah pernikahan dan tabuhkanlah untuknya rebana (ghirbal).” (HR. Ibnu Majah) (al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ Ala al-Madzahib al-Arba’ah, II/52).
Selain rebana, ulama berbeda pendapat. Ada
yang mengharamkan dan ada pula yang menghalalkan. Pendapat Nashiruddin
Al-Albani mengatakan hadits-hadits yang mengharamkan alat-alat musik
seperti seruling, gendang, dan sejenisnya, seluruhnya dha’if (lemah).
Tapi ada beberapa ahli hadits yang memandang hadits-hadits itu shahih.
Seperti Ibnu Shalah dalam Muqaddimah ‘Ulumul Hadits, An-Nawawi dalam
Al-Irsyad, Ibnu Katsir dalam Ikhtishar ‘Ulumul Hadits, Ibnu Hajar dalam
Taghliqul Ta’liq, As-Sakhawy dalam Fathul Mughits, Ash-Shan’ani dalam
Tanqihul Afkar dan Taudlihul Afkar, juga Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayim
dan masih banyak lagi. Tetapi Al-Albani lebih setuju pendapat Ibnu Hazm
dalam Al-Muhallamunqathi’ (terputus sanadnya) (Nashiruddin al-Albani,
Dha’if al-Adab al-Mufrad, hal. 14-16).Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya
Al-Muhalla (VI/59) berkata : “Jika belum ada perincian dari Allah SWT
maupun Rasul-Nya tentang sesuatu yang kita perbincangkan di sini [dalam
hal ini adalah nyanyian dan memainkan alat-alat musik], maka telah
terbukti bahwa ia halal atau boleh secara mutlak.” (Al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 57).
Kesimpulannya, memainkan alat musik apa pun, adalah mubah. Inilah hukum asalnya, sesuai kaidah fiqih : Al-ashlu fi al-asy-yaa` al-ibahah maa lam yarid dalilu at-tahrim [Hukum asal benda adalah boleh selama tidak terdapat dalil yang mengharamkannya].
Maka jika ada dalil syar'i tertentu yang mengharamkan, pada saat itu suatu alat musik hukumnya haram dimainkan. Misalnya :
(1).
Jika suatu alat musik diduga kuat akan mengantarkan pada perbuatan
haram, atau mengakibatkan dilalaikannya kewajiban, hukumnya haram. Sebab
kaidah fiqih menetapkan : al-wasilah ila al-haram haram [Segala sesuatu perantaraan kepada yang haram, hukumnya haram juga]. Misalnya saja alat musik yang dimainkan mengakibatkan ikhtilath (campur baur pria wanita) atau dilalaikannya shalat wajib.
(2).
Jika suatu alat musik digunakan untuk mengiringi lagu yang syairnya
bertentangan dengan Islam, hukumnya haram. Karena itu syair yang
dinyanyikan wajib syair Islami atau yang dibolehkan Islam. Jika suatu
alat musik digunakan mengiringi lagu yang syairnya tidak dibolehkan
Islam, misalnya menyerukan nasionalisme, hukumnya haram.
(3)
Jika suatu alat musik digunakan secara khusus oleh orang kafir dalam
upacara keagamaan mereka, hukumnya haram. Sebab haram hukumnya muslim
menyerupai orang kafir (tasyabbuh bil-kuffar), sesuai hadits Nabi SAW, "Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk ke dalam golongan mereka." (HR. Abu Dawud).
Pendapat Ulama
Ulama-ulama
Islam masa kini tidak ketinggalan menyumbangkan pandangan-pandangan
mereka terhadap hukum musik. Dan mereka terbagi kepada dua golongan,
yaitu golongan yang mewajibkan dan golongan yang mengharamkan. Mereka
yang mengharamkan berpegang kepada nash-nash Al-Quran dan sunnah serta
‘illah yang disebut oleh ulama-ulama terdahulu. Cuma ada juga khilaf di
kalangan mereka tentang alat-alat yang diharuskan. Ada
juga yang mengkhususkan kepada duf saja. Mereka berikhtilaf pada
keadaan-keadaan dibenarkan memukul duf dan siapakah yang wajib
menggunakannya.
Pendapat
pertama menyatakan bahwa duf hanya boleh digunakan di dalam
upacara-upacara perkahwinan, hari raya, dan suasana-suasana kegembiraan
seperti berkhitan. Hanya kaum perempuan saja yang dibenarkan memukul
duf. Pendapat ini dikemukakan Syeikh Abdul Aziz bin Baz, Syeikh Saleh
Fauzan, Syeikh Muhammad bin Saleh Al-‘Usaimin dan Syeikh Nasiruddin
Al-Albani. Mereka bersandarkan kepada mazhab Hanbali.
Pendapat kedua, duf boleh digunakan dalam semua keadaan dan boleh dipukul oleh kaum lelaki dan wanita.
Seterusnya
ada ulama-ulama yang mengharuskan penggunaan seluruh alat muzik tanpa
ada pengecualian, tetapi mereka meletakkan syarat-syarat dan
batas-batas penggunaan alat tersebut agar tidak bertentangan dengan
hukum Allah SWT. Mereka yang berpendapat demikian antara lain:
1. Dr. Yusuf Al-Qardhawi di dalam kitabnya Malamih Al-Mujtama’ Al-Muslim.
2.
Dr Abdul Karim Zaidan dalam bukunya Al-Mufassal fi Ahkam Al-Mar’ah wa
Baitil Muslim juzuk 4 bab 8 iaitu Babul Lahwi wal La’ab.
3. Dr Mohammad Imarah di dalam bukunya Al-Islam wal Funun Al-Jamilah.
4. Dr Kaukab ‘Amir dalam bukunya As-Simaa’ ‘Inda As-Sufiyyah.
Pendapat
mereka sama dengan pandangan beberapa ulama terdahulu seperti Ibnu Hazm
Al-Andalusi, Ibn Tahir Al-Qaisarani, Abdul Ghani An-Nablusi, Al-Kamal
Jaafar Al-Idfawi Asy-Syafie dan Al-Imam Mohd. Asy-Syazili At-Tunisi.
Sebagian
dari mereka seperti Al-Qardhawi berpendapat demikian kerana
hadits-hadits yang mengharamkan alat-alat musik ada sahih ghair sarih
(sahih tetapi tidak nyata) ataupun sarih ghair sahih (nyata tetapi tidak
sahih). Nash-nash tersebut tidak mampu untuk memutuskan hukum karena
hukum harus diputuskan dengan nash yang sahih wa sarih (sahih dan
nyata).
Sebahagian
yang lain seperti Dr. Abdul Karim Zaidan dan Dr. Kaukab mempunyai
pandangan yang sama dengan Al-Ghazali. Mereka menyatakan pengharaman
alat-alat yang disebut di dalam nash-nash hadits karena merupakan syiar
ahli fasiq dan maksiat. Pada pandangan mereka musik tidak haram dari
sudut irama atau bunyinya. Tetapi yang menjadikan haram ialah
unsur-unsur eksternal yang lain yaitu alat yang biasa digunakan di
dalam majelis-majelis dan tujuan-tujuan yang bertentangan dengan batas
syara’. Justru itu alat-alat tersebut tunduk kepada perubahan tempat dan
masa. Penggunaan alat-alat ini juga seharusnya disesuaikan dengan
lingkungan yang dibenarkan oleh syara’ yaitu:
Niat penggunaan alat-alat tersebut dan pendengar iramanya hendaklah betul berdasarkan kaidah Al-umur Bimaqasidiha.
Tujuan
dan suasana digunakan alat-alat tersebut ialah tujuan dan suasana yang
baik, mulia dan tidak bertentangan dengan batas-batas syara’.
Dr
Kaukab ‘Amir menyatakan: “Pada hakikatnya majelis-majelis maksiat pada
hari ini seperti klub-klub malam menggunakan seluruh alat musik yang ada
sekarang. Majelis-majelis tersebut tidak lagi menggunakan alat-alat
tertentu (seperti zaman dahulu) malah keseluruhan alat digunakan. Sebab
itu tidak mungkin kita menghalalkan sebahagian alat (seperti duf dan
gendang) dan mengharamkan sebagian yang lain. Bahkan diharuskan kepada
individu muslim mendengar irama alat-alat tersebut tetapi harus sesuai
dengan adab-adab Islam dan tidak mencoba meniru kelakuan dan perbuatan
ahli-ahli fasiq dan maksiat.
Mengutip
dari ucapan Imam Ghazali didalam kitab kimiyaayi sa’adat pada bab yang
berjudul ‘pembahasan tentang mendengarkan musik (samaa’) dan penjelasan
tentang apa yang dibolehkan dan apa yang dilarang. ‘Ketahuilah bahwa
Tuhan, yang mahaagung, memiliki rahasia dalam hati manusia yang
tersembunyi sebagaimana api dalam besi. Seperti rahasia api yang mewujud
dan tampak ketika besi dipukul dengan batu, maka dengan mendengarkan
musik yang menyenangkan dan harmonis menyebabkan esensi (hati) manusia
bergerak serta mewujudkan sesuatu dalam diri tanpa disadarinya. Alasan
untuk ini adalah adanya hubungan antara esensi hati (nurani) manusia
dengan dunia transeden (alam arwah), yang disebut alam ruh (arwah).
Dunia transeden adalah dunia kecantikan dan keindahan, sedangkan sumber
kecantikan dan keindahan adalah keselarasan(tanaasub). Semua yang
selaras mewujudkan keindahan didunia karena seluruh kecantikan,
keindahan, dan keselarasan yang dapat diamati di dunia ini adalah
pantulan kecantikan dan keindahan dunia tersebut (alam arwah). Karena
itu, nyanyian yang menyenangkan dan harmonis mempunyai kemiripan
tertentu dengan keajaiban dunia tersebut (alam arwah), dan kerenanya
timbullah kesadaran dalam hati, dan juga gerakan (harakat) serta gairah,
dan sangat mungkin diri manusia sendiri tidak mengetahuinya. Maka
inilah kebenaran bagi hati manusia, yang sederhana, yang bebas dari
berbagai cinta dan gairah yang dapat mempengaruhinya. Namun, apabila
tidak bebas dari hal-hal itu, dan ia terisi sesuatu, maka sesuatu itu
akan bergerak dan berpengaruh sebagaimana api yang kian berkobar.
Mendengarkan musik (samaa’) penting bagi seseorang yang hatinya dikuasai
oleh cinta kepada Tuhan, supaya api asmara kian berkobar; namun bagi yang hatinya dipenuhi kecintaan kepada yang fana (hubbu dunya) , mendengarkan musik merupakan racun yang mematikan, dan karenanya haram baginya.
Diperkenalkan Rumi
Hadhroh
pertama kali diperkenalkan oleh seorang tokoh sufi yang hingga kini
karya-karyanya banyak diperbincangkan pakar pakar dan sarjana- sarjana,
baik dari timur maupun barat.
Tokoh
sufi itu ialah Jalaluddin Rumi Muhammad bin Muhammad Al-Balkhi
Al-Qunuwi. Ia kerap dipanggil sebagai Rumi, karena sebagian besar
hidupnya dihabiskan di Konya (kini Turki), yang dahulu dikenal sebagai daerah Rum (Roma).
Jalaluddin dilahirkan di Balkh , Afghanistan pada 604 H atau 30 September 1207.
Saat
usianya baru menginjak 5 tahun ia pernah diramal oleh Fariduddin Attar,
salah satu tokoh sufi. Dalam ramalannya dia menyebutkan bila Rumi akan
menjadi tokoh spiritual yang besar. Sejarah kemudian mencatat bahwa
ramalan Fariduddin itu tidak meleset.
Bahauddin
Walad Muhammad bin Husein, Ayah dari Rumi adalah seorang ulama besar
bermadzhab Hanafi. Karena sangat berkharisma dan tingginya penguasaan
ilmu agamanya, ia digelari Sulthanul Ulama (raja ulama). Namun karena
gelar itu menimbulkan rasa iri pada sebagian ulama lain, maka merekapun
melancarkan fitnah dan mengadukan Bahauddin ke penguasa. Dan celakanya
sang penguasa terpengaruh hingga Bahauddin harus meninggalkan Balkh
bersama keluarganya. Saat itu Rumi baru beruisa lima
tahun, dan sejak itu Bahauddin bersama keluarganya hidup berpindah-
pindah dari suatu negara ke negara lain. Mereka pernah tinggal di
Sinabur (Iran Timur Laut). Dari Sinabur mereka pindah ke Baghdad ,
Makkah, Malattya (Turki), Laranda ( Iran tenggara) dan terakhir menetap
di Konya
, Turki. Karena penguasaan ilmu agama yang baik maka ayah dari Rumi pun
diangkat sebagai penasihat oleh Raja Konya Alauddin Kaiqubad. Selain
itu ia juga diangkat sebagai pimpinan sebuah perguruan agama yang
didirikan di ibukota tersebut. Di kota itu pula ayah Rumi wafat saat
Rumi berusia 24 tahun.
Rumi
yang sejak kecil menimba ilmu agama kepada ayahnya juga belajar dan
berguru kepada Burhanuddin Muhaqqiq At-Turmudzi, yang merupakan sahabat
dan pengganti ayahnya dalam memimpin perguruan. Selain itu Rumi juga
menimba ilmu di Syam (Suriah) atas saran gurunya tersebut. Ia baru
kembali ke Konya pada 634 H, dan ikut mengajar pada perguruan tersebut.
Setelah
Burhanuddin wafat, Rumi menggantikannya sebagai guru di Konya
. Dengan pengetahuan agamanya yang sudah cukup luas, disamping sebagai
guru, ia juga menjadi da’i dan ahli hukum Islam. Ketika itu di Konya
banyak tokoh ulama berkumpul. Tak heran jika Konya kemudian menjadi
pusat ilmu dan tempat berkumpul para ulama dari berbagai penjuru dunia.
Kesufian
dan kepenyairannya dimulai saat ia berusia 48 tahun. Sebelumnya, Rumi
adalah seorang ulama yang memimpin sebuah madrasah yang mempunyai murid
sebanyak 4.000 orang. Sebagaimana layaknya seorang ulama, ia juga
memberi fatwa dan menjadi tumpuan ummat untuk bertanya dan mengadu.
Kehidupannya berubah seratus delapan puluh derajat ketika ia berjumpa
dengan seorang sufi pengelana, Syamsuddin/Syamsi Tabriz.
Suatu
saat, ketika Rumi mengajar seperti biasanya, di hadapan khalayak dan
banyak bertanya sesuatu kepadanya, tiba dia mendapati seorang lelaki
asing, yakni Syamsi Tabriz yang ikut bertanya. Pertanyaannya adalah, Apa
yang dimaksud dengan riyadhah dan ilmu?
Mendengar
pertanyaan seperti itu Rumi sangat terkesima lantaran sangat jitu dan
tepat pada sasarannya. Akibatnya, ia tidak mampu menjawab.
Selanjutnya,
Rumi pun berkenalan dengan Tabriz . Setelah bergaul beberapa saat, ia
mulai kagum kepada Tabriz yang ternyata seorang sufi. Ia
berbincang-bincang dan berdebat tentang berbagai hal dengan Tabriz
. Mereka betah tinggal di dalam kamar hingga berhari-hari. Sultan
Walad, putera Rumi, mengomentari perilaku ayahnya itu, “Sesungguhnya,
seorang guru besar tiba-tiba menjadi seorang murid kecil. Setiap hari
sang guru besar harus menimba ilmu darinya, meski sebenarnya beliau
cukup alim dan zuhud. Tetapi itulah kenyataannya. Dalam diri Tabriz ,
guru besar itu melihat kandungan ilmu yang tiada taranya. ‘Rumi
benar-benar tunduk kepada guru barunya itu. Di matanya, Tabriz
benar-benar sempurna’
Celakanya,
Rumi kemudian lalai dengan tugas mengajarnya sehingga banyak muridnya
yang protes. Mereka menuduh orang asing itulah biang keladinya. Karena
takut terjadi fitnah dan takut atas keselamatan dirinya, Tabriz lantas
secara diam-diam meninggalkan Konya . Bak remaja ditinggalkan
kekasihnya, kepergian Tabriz
itu menjadikan Rumi dirundung duka. Ia hanya mengurung diri di dalam
rumah dan juga tidak bersedia mengajar. Mendengar kabar tersebut Tabriz
mengirim surat dan menegur Rumi.
Karena
merasakan menemukan gurunya kembali, maka gairah Rumi bangkit kembali.
Dan ia mulai mengajar lagi. Beberapa saat kemudian ia mengutus putranya,
Sultan Walad untuk mencari Tabriz di Damaskus. Lewat putranya tadi,
Rumi ingin menyampaikan penyesalan dan permintaan maaf atas tindakan
murid-muridnya itu dan menjamin keselamatan gurunya bila berkenan
kembali ke Konya . Demi mengabulkan permintaan Rumi, Tabriz kembali ke
Konya . Dan mulailah Rumi berasyik-asyik kembali dengan Tabriz .
Lambat-laun para muridnya merasakan diabaikan kembali, dan mereka mulai
menampakkan perasaan tidak senang kepada Tabriz . Lagi-lagi sufi
pengelana itu, secara diam-diam meninggalkan Rumi, lantaran takut
terjadi fitnah.
Walau Rumi
ikut mencari hingga ke Damaskus, tetapi Tabriz
tidak kembali lagi. Kesedihannya berpisah dan kerinduannya untuk
berjumpa lagi dengan gurunya itu ikut berperan mengembangkan emosinya,
sehingga ia menjadi penyair yang sulit ditandingi. Guna mengenang dan
menyanjung gurunya itu, ia tulis syair- syair, yang himpunannya kemudian
dikenal dengan nama Divani Syamsi Tabriz . Ia bukukan pula
wejangan-wejangan gurunya, dan buku itu dikenal dengan nama Maqalati
Syams Tabriz .
Rumi
kemudian mendapat sahabat dan sumber inspirasi baru, Syekh Hisamuddin
Hasan bin Muhammad. Atas dorongan sahabatnya itu, selama 15 tahun
terakhir masa hidupnya menghasilkan himpunan syair yang besar dan
mengagumkan yang diberi nama Masnavi-i. Buku ini terdiri dari enam jilid
dan berisi 20.700 bait syair. Dalam karyanya ini, terlihat
ajaran-ajaran tasawuf yang mendalam, yang disampaikan dalam bentuk
apologi, fabel, legenda, anekdot, dan lain-lain.
Karya
tulisnya yang lain adalah Ruba’iyyat (sajak empat baris dalam jumlah
1600 bait), Fiihi Maa fiihi (dalam bentuk prosa, merupakan himpunan
ceramahnya tentang tasawuf), dan Maktubat (himpunan surat-suratnya
kepada sahabat atau pengikutnya). Bersama Syekh Hisamuddin pula, Rumi
mengembangkan tarekat Maulawiyah atau Jalaliyah. Tarekat ini di Barat
dikenal dengan nama The Whirling Dervishes (Para Darwisy yang
Berputar-putar). Nama itu muncul karena para penganut tarekat ini
melakukan tarian berputar-putar, yang diiringi oleh gendang dan suling,
dalam dzikir mereka untuk mencapai ekstase.
Diusia 68 tahun Rumi pada akhirnya wafat tepatnya Pada 5 Jumadil Akhir 672 H.
Sebelum
meninggal ia mengalami sakit keras. Melihat kondisi Rumi, Penduduk
Konya dilanda kecemasan. Meski demikian, pikiran Rumi masih menampakkan
kejernihannya.
Seorang sahabatnya yang datang menjenguk dan mendo’akannya, ‘Semoga Allah berkenan memberi ketenangan kepadamu dengan kesembuhan’. Rumi sempat menyahut, ‘Jika engkau beriman dan bersikap manis, kematian itu akan bermakna baik. Tapi kematian ada juga kafir dan pahit.’ Sebab akhirnya semua manusia akan kembali kepada-Nya. Demikianlah yang terjadi pada Rumi. Tatkala jenazahnya hendak diberangkatkan, penduduk setempat berdesak-desak ingin menyaksikan kepergian seseorang yang dihormati.
dari berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar